Kandidasi Partai Politik Dalam Pilkada Gunungkidul 2020 Dalam Sorotan.
Tahapan Pilkada Gunungkidul 2020 sudah mulai berjalan seperti daerah-daerah lainya yang akan melangsungkan pergantian kepala daerah.
Sejumlah tokoh politik yang berniat untuk mengikuti kontestasi ini sudah bergerak untuk mencari dukungan masyarakat dan restu partai politik yang akan mengusungnya.
Selain melalui partai politik, konstitusi juga telah menyediakan jalur perseorangan dalam kontestasi pilkada, namun sepertinya jalur partai politik menjadi pilihan utama bagi para elit untuk bertarung pada gelaran lima tahunan tersebut, sehingga prosesnya sangat menarik untuk diikuti dan disimak.
Posisi partai politik sebagai instrumen utama demokrasi dalam melakukan rekrutmen politik, semakin kelihatan powernya, terutama partai politik yang mendapatkan kursi DPRD cukup signifikan dan bisa mencalonkan sendiri tanpa koalisi, disini ada PDIP dengan 10 kursi dan NASDEM dengan 9 kursinya.
Mantan Ketua KPU RI periode 2005-2007 Ramlan Surbakti (2007) dalam bukunya yang berjudul “Memahami Ilmu Politik” menjelaskan bahwa rekrutmen politik merupakan seleksi dan pemilihan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Pengertian ini memberi poin pada proses seleksi seseorang sebelum menuju tahapan berikutnya. Seleksi diperlukan untuk mencari kualitas individu yang dianggap memiliki kecakapan dan keahlian sebelum masuk atau ditempatkan dalam jabatan politik pemerintahan. Dalam konteks pilkada, proses ini merupakan bagian dari penjaringan calon kepala daerah oleh partai politik.
Salah satu elemen rekrutmen yang dilakukan partai politik menjelang pilkada adalah proses kandidasi. Menurut Rahat dan Hazan dalam Katz dan Crotty (2006), kandidasi merupakan pemilihan individu yang dianggap sukses di partai karena mereka akan dijadikan sebagai representasi partai untuk proses politik berikutnya.
Kandidasi dalam partai politik juga dilihat sebagai langkah awal partai politik dalam proses politik pilkada. Kandidasi menjadi penting bagi partai politik mengingat krusialnya rekomendasi atau dukungan partai politik dalam pilkada. Sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang pilkada, bahwa kandidat calon kepala daerah harus diusung oleh minimal 20 persen kursi legislatif. Oleh karena itu dukungan partai politik adalah syarat wajib yang harus dipenuhi oleh kandidat calon kepala daerah.
Pentingnya rekomendasi partai politik sebagai tiket masuk arena pilkada menjadikan proses kandidasi sering dihiasi oleh praktek politik oligarki dan transaksional. Persaingan politik yang tinggi pada momen kandidasi, memunculkan berbagai gejala yang dapat meruntuhkan nilai-nilai demokrasi.
Beberapa hal yang menjadi krusial pada proses kandidasi antara lain :
Pertama, praktik politik uang.
Walaupun sering terdengar nyaring kalimat " politik tanpa mahar " namun pada proses kandidasi seringkali bau-bau politik uang tetap terdengar.
Kandidat dengan sumber daya ekonomi yang kuat berpotensi untuk memenangkan kontestasi di internal partai politik. Besaran mahar politik menjadi faktor penentu keterpilihan seorang kandidat.
Proses ini menggambarkan bahwa tiket kursi kandidasi telah berubah menjadi sebuah komoditi ekonomi yang memiliki nilai jual sangat tinggi.
Hal ini tentu tidak baik bagi perkembangan demokrasi, praktik politik uang harus dihindari agar pelaksanaan demokrasi dapat menyentuh pada ranah substansi.
Kedua, praktik nepotisme politik.
Dalam proses kandidasi, nepotisme sering terjadi untuk membangun sebuah dinasti politik. Dalam hal ini, kandidat yang memiliki relasi kedekatan tertentu dengan partai politik atau pimpinan partai politik tentu akan berhasil memenangkan proses kandidasi.
Nepotisme akan berpotensi untuk menggagalkan kandidat yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni jika tidak memiliki jaringan keluarga atau kroni dengan pimpinan partai politik. Sehingga tidak heran di sejumlah daerah, fenomena dinasti politik masih berlangsung ditengah penyelenggaraan demokrasi.
Hal ini tentu berbahaya sebab akan menjadi batu kerikil yang mengganggu perjalanan demokrasi kedepannya.
Ketiga, perpecahan ditubuh partai politik.
Konflik internal partai politik kerap terjadi akibat proses kandidasi yang tidak sehat, akibatnya muncul faksi-faksi dalam partai politik .
Ancaman kekuatan partai politik yang terbelah tentu akan sangat merugikan bagi partai politik, padahal dalam menghadapi kontestasi pilkada, kesolidan dan kekompakkan partai politik menjadi kekuatan yang harus dijaga.
Ke depan proses kandidasi diharapkan dapat berjalan secara terbuka dan transparan. Salah satu mekanisme yang dapat ditempuh adalah melalui proses demokrasi di internal partai politik. Mekanisme ini kemudian dapat juga dilakukan dalam bentuk konvensi di tubuh partai politik. Artinya dengan demikian kandidat yang dipilih dalam konvensi merupakan kandidat yang telah disepakati oleh mayoritas anggota partai politik.
Sehingga representasi suara partai politik dapat lebih terwakili dengan proses pemilihan oleh seluruh stakeholder partai bersangkutan.
Demokrasi internal partai politik lebih jauh akan berpengaruh pada proses pelembagaan partai politik yang lebih baik. Politik oligarki yang mewarnai proses kandidasi di setiap pilkada diharapkan tidak berlanjut. Partai politik semakin kuat dengan berada pada garis ideologinya. Kaderisasi partai politik berjalan dengan jenjang yang lebih fair. Dan pada akhirnya kita berharap praktek politik uang tidak terjadi lagi dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
Slamet. SPd.MM
Petani pisang cavendis
Tulisan di sharing dari beberapa tulisan teman lain di sosmed.
Tahapan Pilkada Gunungkidul 2020 sudah mulai berjalan seperti daerah-daerah lainya yang akan melangsungkan pergantian kepala daerah.
Sejumlah tokoh politik yang berniat untuk mengikuti kontestasi ini sudah bergerak untuk mencari dukungan masyarakat dan restu partai politik yang akan mengusungnya.
Selain melalui partai politik, konstitusi juga telah menyediakan jalur perseorangan dalam kontestasi pilkada, namun sepertinya jalur partai politik menjadi pilihan utama bagi para elit untuk bertarung pada gelaran lima tahunan tersebut, sehingga prosesnya sangat menarik untuk diikuti dan disimak.
Posisi partai politik sebagai instrumen utama demokrasi dalam melakukan rekrutmen politik, semakin kelihatan powernya, terutama partai politik yang mendapatkan kursi DPRD cukup signifikan dan bisa mencalonkan sendiri tanpa koalisi, disini ada PDIP dengan 10 kursi dan NASDEM dengan 9 kursinya.
Mantan Ketua KPU RI periode 2005-2007 Ramlan Surbakti (2007) dalam bukunya yang berjudul “Memahami Ilmu Politik” menjelaskan bahwa rekrutmen politik merupakan seleksi dan pemilihan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Pengertian ini memberi poin pada proses seleksi seseorang sebelum menuju tahapan berikutnya. Seleksi diperlukan untuk mencari kualitas individu yang dianggap memiliki kecakapan dan keahlian sebelum masuk atau ditempatkan dalam jabatan politik pemerintahan. Dalam konteks pilkada, proses ini merupakan bagian dari penjaringan calon kepala daerah oleh partai politik.
Salah satu elemen rekrutmen yang dilakukan partai politik menjelang pilkada adalah proses kandidasi. Menurut Rahat dan Hazan dalam Katz dan Crotty (2006), kandidasi merupakan pemilihan individu yang dianggap sukses di partai karena mereka akan dijadikan sebagai representasi partai untuk proses politik berikutnya.
Kandidasi dalam partai politik juga dilihat sebagai langkah awal partai politik dalam proses politik pilkada. Kandidasi menjadi penting bagi partai politik mengingat krusialnya rekomendasi atau dukungan partai politik dalam pilkada. Sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang pilkada, bahwa kandidat calon kepala daerah harus diusung oleh minimal 20 persen kursi legislatif. Oleh karena itu dukungan partai politik adalah syarat wajib yang harus dipenuhi oleh kandidat calon kepala daerah.
Pentingnya rekomendasi partai politik sebagai tiket masuk arena pilkada menjadikan proses kandidasi sering dihiasi oleh praktek politik oligarki dan transaksional. Persaingan politik yang tinggi pada momen kandidasi, memunculkan berbagai gejala yang dapat meruntuhkan nilai-nilai demokrasi.
Beberapa hal yang menjadi krusial pada proses kandidasi antara lain :
Pertama, praktik politik uang.
Walaupun sering terdengar nyaring kalimat " politik tanpa mahar " namun pada proses kandidasi seringkali bau-bau politik uang tetap terdengar.
Kandidat dengan sumber daya ekonomi yang kuat berpotensi untuk memenangkan kontestasi di internal partai politik. Besaran mahar politik menjadi faktor penentu keterpilihan seorang kandidat.
Proses ini menggambarkan bahwa tiket kursi kandidasi telah berubah menjadi sebuah komoditi ekonomi yang memiliki nilai jual sangat tinggi.
Hal ini tentu tidak baik bagi perkembangan demokrasi, praktik politik uang harus dihindari agar pelaksanaan demokrasi dapat menyentuh pada ranah substansi.
Kedua, praktik nepotisme politik.
Dalam proses kandidasi, nepotisme sering terjadi untuk membangun sebuah dinasti politik. Dalam hal ini, kandidat yang memiliki relasi kedekatan tertentu dengan partai politik atau pimpinan partai politik tentu akan berhasil memenangkan proses kandidasi.
Nepotisme akan berpotensi untuk menggagalkan kandidat yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni jika tidak memiliki jaringan keluarga atau kroni dengan pimpinan partai politik. Sehingga tidak heran di sejumlah daerah, fenomena dinasti politik masih berlangsung ditengah penyelenggaraan demokrasi.
Hal ini tentu berbahaya sebab akan menjadi batu kerikil yang mengganggu perjalanan demokrasi kedepannya.
Ketiga, perpecahan ditubuh partai politik.
Konflik internal partai politik kerap terjadi akibat proses kandidasi yang tidak sehat, akibatnya muncul faksi-faksi dalam partai politik .
Ancaman kekuatan partai politik yang terbelah tentu akan sangat merugikan bagi partai politik, padahal dalam menghadapi kontestasi pilkada, kesolidan dan kekompakkan partai politik menjadi kekuatan yang harus dijaga.
Ke depan proses kandidasi diharapkan dapat berjalan secara terbuka dan transparan. Salah satu mekanisme yang dapat ditempuh adalah melalui proses demokrasi di internal partai politik. Mekanisme ini kemudian dapat juga dilakukan dalam bentuk konvensi di tubuh partai politik. Artinya dengan demikian kandidat yang dipilih dalam konvensi merupakan kandidat yang telah disepakati oleh mayoritas anggota partai politik.
Sehingga representasi suara partai politik dapat lebih terwakili dengan proses pemilihan oleh seluruh stakeholder partai bersangkutan.
Demokrasi internal partai politik lebih jauh akan berpengaruh pada proses pelembagaan partai politik yang lebih baik. Politik oligarki yang mewarnai proses kandidasi di setiap pilkada diharapkan tidak berlanjut. Partai politik semakin kuat dengan berada pada garis ideologinya. Kaderisasi partai politik berjalan dengan jenjang yang lebih fair. Dan pada akhirnya kita berharap praktek politik uang tidak terjadi lagi dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
Slamet. SPd.MM
Petani pisang cavendis
Tulisan di sharing dari beberapa tulisan teman lain di sosmed.
Komentar
Posting Komentar